January 15, 2009

Bandung - After Midnight

Udara dingin menusuk kulit. Tebalnya jaket yang kukenakan seperti tidak ada artinya, karena ujung-ujung jemariku tetap membeku tak terlindung. Aroma lembab air hujan yang menggenang di atas aspal memenuhi udara, menerpa wajahku yang tak terlindung seraya aku berkendara dengan tidak terburu-buru. Ini hanyalah satu di antara entah-berapa-banyak malam yang kulalui di jalan. Udara malam adalah nafasku, dan denyut kotaku yang tertidur tenang adalah denyutku, dibuai rinai hujan yang baru lalu. Sementara jemari sang waktu bergerak menembus batas hari...

Bandung, selewat tengah malam, memiliki keindahannya sendiri yang tidak diketahui oleh banyak orang. Ah, atau mungkin mereka memang tidak mau tahu dan lebih suka berada di dalam kamar mereka yang hangat. Mereka tidak tahu gemerlapnya kota ini dalam gelap, mereka juga tidak tahu betapa ramainya kota ini dalam sepinya malam.

Atau mungkin mereka memang tidak mau tahu.

Denyut Bandung pada waktu ini sangat berbeda dengan keramaiannya di siang hari. Kemacetan yang semakin lama semakin parah, apalagi di waktu musim liburan, tidak akan dijumpai pada jam segini. Kendaraan hanya sesekali berlalu-lalang, dengan kecepatan tinggi. Orang-orang yang menghidupkan suasana kota pun berbeda.

Aku punya beberapa kategori tentang mereka yang masih terjaga. Pertama, mereka yang bekerja: para satpam yang asik berbicara satu sama lain ditemani kopi hitam; para pemilik warung yang masih buka, meski sebagian sudah mulai membereskan barang-barangnya; pelayan di tempat-tempat hiburan malam serta kafe-kafe; karyawan restoran fast-food 24 jam yang mengantarkan pesanan; dan terakhir, mereka yang berada di dalam bayang-bayang, terutama mereka yang menjajakan dirinya. Mereka yang bekerja di malam hari kadang tidak punya pilihan untuk bekerja di siang hari seperti orang lain, rasanya seperti mereka tidak mendapat tempat di bawah terik matahari.

Yang kedua, anak-anak muda, biasanya mereka bergerombol: di depan toko 24 jam, di warung-warung makan, di daerah Dago, di sekitar Gasibu, dan sejumlah tempat lain. Mereka hanya duduk, mengobrol satu sama lain, main kartu, berbagi ganja, dan entah apa lagi. Termasuk pula dalam kategori ini adalah mereka yang baru pulang dari tempat-tempat hiburan malam. Untuk yang terakhir ini biasanya bisa dikenali dari caranya berpakaian, make-up yang tadinya tebal tapi mulai luntur, bau parfum yang sudah bercampur keringat, terkadang juga jejak-jejak alkohol, entah itu baunya atau dari tingkah mereka yang mabok. Ada sebagian diantaranya yang berpasangan dengan mesra-seakan-dunia-milik-berdua-yang-laen-ngontrak, dan aku berani bertaruh bahwa malam masih akan lebih panjang (dan lebih panas) untuk pasangan-pasangan itu.

Sisanya, yang tidak termasuk dalam dua kategori di atas, bisa bermacam-macam. Tapi sebagian hanya orang-orang yang berkeliaran tanpa tujuan.

Jalan layang Pasopati yang padat di siang hari tampak begitu sepi. Hanya sesekali kendaraan berlalu dengan kecepatan tinggi. Gemerlapnya Bandung terasa dari sini. Lampu-lampu kota terlihat seperti permadani bintang yang tergelar di kedua sisi jembatan. Tidak banyak bangunan tinggi yang menonjol terlihat.

Jika banyak orang mengenal Cihampelas dan Dago sebagai jalan yang selalu dipadati kendaraan, atau tempat belanja, maka tidak denganku. Yang kukenal adalah jalan yang bernafas lega di malam hari, lepas dari beban polusi kendaraan siang hari (terutama bus-bus wisata itu di Cihampelas, mereka sadar tidak sih bahwa bus wisata itu sumber utama kemacetan dan polusi jalan kecil ini? apalagi di saat musim liburan).

Jalan Surapati, selewat tengah malam. Lebih banyak lagi orang-orang bergerombol di sisi jalan, terutama sekitar lapangan Gasibu. Raungan mesin dan desingan motor berkecepatan tinggi bukan hal yang aneh lagi di sini. Ya, di sinilah tempat mereka beradu kecepatan. Aku sama sekali tidak keberatan. Aku jelas lebih suka orang-orang ini ketimbang mereka yang bermotor secara bergerombol lalu berkeliaran tidak jelas dan membacoki orang-orang tak bersalah.

Bandung, selewat tengah malam, memiliki keindahannya sendiri yang tidak disadari banyak orang: gemerlap dalam gelap, ramai di dalam sepi. Ini hanyalah sepenggal wajahnya. Masih banyak lagi yang tak terlihat...

Catatan: Karena keterbatasan kamera (dan kemampuanku) foto-foto ini terpaksa melalui Photoshop,
terutama untuk mengurangi noise. Iya, aku butuh kamera yang lebih layak...

2 comments:

Dianing Ratri said...

heheheh, pernah kok ngerasain bandung dini hari XP
*kenangan pulang malem2 semasa tpb..*

menyenangkan =3=

Anonymous said...

kenapa ga cb meliput yang 'gitu2' ben? hihi..itu bs menambah pengetahuan org yang ingin tau.., spt saya.. haha..